Matematika Berkarya - Ruang Renjana

Matematika Berkarya – Ruang Renjana

Ruang Renjana
Karya: Mei

“Ren, Renjana, saya baik.” adalah ucapan yang selalu keluar dari bibirku. Tapi lelaki itu tak pernah mendengarkan.
Setelah aku ucapkan kalimat itu, ia selalu menyediakan sesuatu di samping tangan kananku. Pernah ia meletakkan sebatang cokelat di samping tangan kananku ketika kami duduk di teras rumahku. Di lain hari, ia datang membawa setangkai bunga krisan kuning yang merekah sempurna. Pernah juga ia membawa sepotong kue dengan hiasan berantakan, yang belakangan kutahu adalah buatannya sendiri. Padahal Renjana tidak pernah telaten dengan halhal bertema memasak.
Kami sering berbagi waktu di sore hari sebelum malam menjelang. Duduk di teras rumah kecil milikku yang sepi penghuni. Kadang kami menikmati teh hijau dingin di ruang tamu yang kutata khusus untuk dirinya. Karena aku hampir tak pernah kedatangan tamu selain Renjana, maka ruang itu kini kunamakan “Ruang Renjana.”
Sore itu, kami duduk berhadapan di “Ruang Renjana” dalam hening. Sesekali menikmati teh hijau yang telah aku seduh sebelumnya. Renjana membuka pembicaraan dengan pertanyaan rutin, “Gimana hidup?”
“Baik, Ren. Saya baik.” Renjana diam. Ia bergerak resah sambil mengetukngetuk meja. Lagilagi ia tak terima dengan jawabanku.
“Gimana hidup?” Renjana kembali mengulang pertanyaan, biasanya ia akan mengulang sebanyak tiga kali dan aku akan menjawab dengan jawaban yang sama sebanyak itu juga. Namun kali ini, rutinitas itu kupatahkan.
“Renjana, saya baik. Saya selalu bilang begitu. Jawaban saya akan terus seperti itu. Kamu nggak bosan obrolan kita begini terus? Langsung cerita saja apa yang mau kamu ceritakan. Soal alien luar angkasa, piknik di bulan, atau tentang makhluk aneh pemakan mimpi. Cerita saja langsung, saya dengarkan.” Aku berucap sedikit kasar.
Renjana kelihatan terkejut dengan jawabanku. Lelaki itu mengalihkan tatapan matanya ke luar jendela. Ia menarik napas sebentar sambil memasang wajah suram penuh resah. “Tadi pagi saya lihat kamu jatuh dari tangga. Kayaknya karena nggak sengaja tersenggol temanmu.” Renjana memulai ceritanya.
“Kemarin siang, saya lihat kamu bertengkar dengan teman baikmu. Hari sebelumnya, saya lihat kamu dimarahi dosen karena lupa dengan jadwal bimbingan. Kemarin dan kemarinnya lagi, saya lihat kamu lagi
susah.”
Renjana menjeda sesaat.
“Makanya saya tanya gimana keadaan kamu, tapi kamu nggak pernah jujur.”
Aku diam, membiarkan hening diisi oleh suaranya yang jernih.
“Akhirnya saya sediakan cerita penghiburan yang ada di dunia buat kamu. Saya sediakan juga barang kesukaan nan cantik di samping tangan kanannu. Saya harap dengan begitu sedihmu bisa hilang. Saya cuma mau kamu tahu kalau saya ada di sini. Sedih dan resah, bisa dibagi.”
Renjana berhenti sebentar dan melempar tatapan sendu padaku.
“Tapi, saya malah bikin risih, ya?”
Sungguh, bukan niatku untuk membuat lelaki itu memasang wajah terluka seperti sekarang ini. Sungguh aku menyukai senyuman dan celoteh yang selalu ia berikan padaku.
“Ren, Renjana, resah saya banyak.”
“Saya tahu.” Renjana menjawab pasti.
“Beban saya berat.”, lanjutku.
“Iya, saya tahu.”
“Perihnya juga berlebih.”
“Tahu. Saya tahu.” Renjana menjawab lagi tak mau kalah.
Pandanganku buram oleh air mata. “Susahnya saya banyak dan bikin sesak, saya nggak mau senyummu jadi rusak.”
Renjana menatap terluka. “Saya senyum cuma buat kamu.”
Tangisanku luruh saat itu juga.
“Bahagia saya cuma kamu.” Renjana berucap lagi. “Saya tawarkan tempat bagi kamu untuk berbagi resah. Sungguh,
saya akan terima setiap resahmu. Ada badai menerjang pun tak apa, kita lalui saja. Bukannya merenggang, kita
justru makin kuat.”
Air mataku jatuh. “Ren,”
“Ya?”
“Hidup nyusahin.” Ucapku dengan suara penuh getar. “Hidup bikin sesak. Resahnya nggak pernah hilang. Sedihnya
bertumpuk setiap hari. Bebannya makin berat.” Aku menunduk membiarkan air mataku meluruh. “Renjana, tolong temani saya.”

Detik itu juga, aku merasakan hangat mengalir pada tangan kananku. Renjana menggenggamnya. “Renjana, jangan pergi. Temani saya sampai akhir.”

“Iya, saya di sini.” Genggamannya makin erat. “Sudah saya letakkan benda yang kamu sukai di samping tanganmu.

Sekarang, mau dengar cerita penghiburan?”

Aku mengangkat wajahku bingung dan menyeka air mata yang turun. “Loh? Barang apa? Kayaknya belum. Nggak ada makanan atau bunga di sebelah tangan kanan saya.”

“Loh, sudah ada tangan kiri saya di dalam tanganmu. Kamu nggak suka?” Jawaban Renjana membuatku tertawa

dengan suara parau.

“Suka, saya suka.”

“Sekarang mau dengar cerita?”

“Iya, Ren.”

“Saya suka halhal indah lalu menyimpannya dalam genggaman, tapi ada satu hal indah yang sangat sulit saya dapatkan. Butuh waktu panjang dan usaha besar untuk mendapatkannya.”

Aku menatap bingung ketika mendengar kisah penghiburan Renjana. “Oh ya? Sekarang juga belum dapat?”

“Sudah.” Lelaki itu menjawab mantap.

“Memangnya apa?” Aku penasaran.

“Kamu.”

Bersamaan dengan jawaban singkat dari Renjana, genggaman tangannya mengerat. Kami berdua tertawa sambil menutup resah yang sudah lama menggantung.

Renjana, kali ini sungguh, saya sudah baikbaik saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top